Petani Penggarap Harapkan Sewa Lahan Sesuai Perda

TASIKMALAYA|Pelita Online| Menganggapi murahnya tarif sewa lahan pertanian aset pemerintah Kota Tasikmalaya sebagaimana dilansir media Pelita Online 5 Juni 2020, sebagian besar petani penggarap lahan pertanian yang ada di Desa Panyingkiran dan Desa Parakannyasag, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya berharap agar lahan pertanian yang selama ini mereka garap tersebut tarif sewa-nya disesuaikan saja berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2012.

Pasalnya, tarif retribusi lahan pertanian aset Pemkot Tasikmalaya yang selama ini mereka sewa, tarif nya tidak sesuai dengan Perda Nomor 2 Tahun 2012 tentang retribusi jasa usaha.

YY (35) th petani pengarap di Desa Panyingkiran misalnya, lahan pertanian aset Pemkot Tasikmalaya yang di sewa seluas 135 bata atau sekitar 1.890 meter persegi, seharusnya dengan tarif perhitungan normal untuk tiga kali panen berdasarkan Perda, dia membayar retribusi sewa sebesar Rp 1.219 050,- tapi pada kenyataannya dia membayar retribusi sewa lahan pertanian yang dia garap setiap tahun dengan besaran harga sewa senilai Rp 1.700,000.

Demikian juga dengan DN (40) th, yang juga petani penggarap di lahan pertanian Desa Panyingkiran. Dia menyewa lahan aset Pemkot Tasikmalaya seluas 80 bata atau sekitar 1.120 meter persegi, dengan tarif perhitungan normal untuk tiga kali panen berdasarkan Perda, seharusnya dia membayar retribusi sewa sebesar Rp 722,400,- tapi pada kenyataannya dia membayar retribusi sewa lahan pertanian yang dia garap setiap tahun dengan besaran harga sewa Rp 1.500.000.

Padahal menurut keduanya, setiap kali panen tidak semuanya normal. Memang, dalam setahun itu tiga kali panen, tapi dalam tiga kali panen itu tidak semuanya berhasil normal, ada saja satu diantaranya gagal total tidak meghasilkan sama sekali lantaran terserang hama. Tapi itu resiko kami para petani yang menggarap lahan pertanian aset Pemkot Tasikmalaya, ujar kedua petani tersebut kepada Pelita Online sembari mengelus dada.

“Itu sudah resiko kami pak sebagai petani. Hanya saja pak, harapan kami sebagai petani penggarap lahan pertanian aset Pemkot di Desa Panyingkiran, sebaiknya retribusi lahan pertanian aset Pemkot disesuaikan saja dengan Perda Nomor 2 Tahun 2012 tentang retribusi jasa usaha, supaya tidak terlalu memberatkan kami sebagai petani penggarap di lahan pertanian aset Pemkot Tasikmalaya”, ujar YY yang selama ini tidak mengetahui kalau tarif sesuai Perda itu relatif murah sekali.

YY mengakui, untuk pembayaran sewa lahan biasanya kita langsung membayar ke kantor Kelurahan Parakannyasag, setelah semua para petani penggarap menerima surat dan kwitansi pembayaran dari petugas Kelurahan, ujar YY yang mengaku panen perdananya di tahun 2020 ini berhasil panen sebayak 2 (dua) kuintal gabah basah,  dari lahan seluas 135 bata yang dia garap.

“Mudah-mudahan, panen kedua yang sekitar bulan  Agustus mendatang akan menghasilkan lebih baik lagi”, ujar Yy penuh harap.

Hal yang berbeda diakui para petani penggrap di lahan pertanian aset Pemkot Tasikmalaya yang ada di Desa Parakannyasag.

Selama ini, mereka tidak membayar sewa berdasarkan tarif Perda Nomor 2 Tahun 2012, melainkan mereka membayar dengan sistem bagi hasil atau istilah mereka dengan sistem “nengah” kepada pihak Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM)

Menurut salah seorang petani penggarap di Kelurahan Parakannyasag yang tidak untuk disebutkan jati dirinya kepada Pelita Online, Jum’at (05/06/2020) memaparkan. Dengan sistem “nengah” ini sebenarnya ada untung ruginya juga bagi para petani.

Untungnya, kalau kita gagal panen berarti tak perlu membagi hasil atau “nengah”, tapi di lahan pertanian aset Pemkot Tasikmalaya khususnya Kelurahan Parakannyasag belum pernah yang namanya gagal total dalam setiap kali panennya, ujarnya.

Ruginya dengan sistem “nengah” ini, kita para penggarap tidak lesuasa memberikan lahan garapan baik ke anak maupun saudara lainnya untuk me ggarapnya, karena kita ditarget untuk selalu menghasilkan produksi hasil panen yang bagus dan maksimal, jelasnya.

Jadi kesimpulannya, para petani penggarap lahan pertanian di Kelurahan Parakannyasag ini berharap agar lahan pertanian yang kami garap selama ini, agar sistem nya di sewa saja sesuai dengan tarif yang tertuang dalam Perda Nomor 2 Tahun 2012 tersebut, ujarnya mewakili petani penggarap lainnya kepada Pelita Online, Sabtu (06/06/2020) sore sekitar pukul 02’30 WIB di lokasi lahan garapannya.

Ruginya lagi, sistem “nengah”, misalnya lahan yang saya garap menghasilkan hampir 27 kuintal dalam tiga kali panen/tahun, lantaran “nengah” kami hanya menerima 13,5 kuintal gabah basa, karena 13,5 kuintal lagi untuk bayar sewa sistem “nengah”.

“13,5 kuintal gabah basa, kalau di uangkan lebih dari Rp 5 juta. Karena harga gabah basa Rp 400 ribu/kuintal”, jadi sangat rugi banyak kalau kami tidak dirubah dengan sistem sewa sesuai tarif Perda, ujar bapak tiga orang anak ini penuh harap.

Sebenarnya para petani penggarap lahan pertanian di Kelurahan Parakannyasag ini sudah sejak lama berharap dan meminta agar lahan yang kami garap ini agar di sewa saja. Namun entah mengapa, ketua LPM terdahulu (almarhum) selalu tidak merealisasikan keinginan para petani dengan alasan khawatir petani penggarap akan rugi.

Demikian juga dengan ketua LPM sekarang selaku (penerus almarhum) yang juga belum dapat merealisasikan keinginan para petani penggarap. Alasannya juga sama, kekhawatiran terhadap petani akan rugi, tambahnya.

Menanggapi aspirasi petani Parakannyasag, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahaan Parakannyasag, H. Suryadi Apandi, Jum’at (05/06/2020) kepada Pelita Online mengatakan.

“Silahkan saja kalau para petani penggarap maunya dengan sistem sewa, bagi saya sebenarnya lebih baik di sewa. Karena dengan sistem sewa, kita tidak mau tau dengan adanya istilah gagal panen di lahan pertanian yang digarapnya, yang pasti sewa atau kontrak kan tetap harus berjalan/bayar,” ungkapnya.

Sementara sekarang dengan sistem bagi hasil, kan mereka tidak perlu memikirkan bayar terdahulu, karena kita di LPM sudah menanggulanginya ke bagian aset. Karena LPM sudah ada MOU dan terikat kontrak dengan Pemkot Tasikmalaya, ungkapnya lagi.

Terkait acuan bagi hasil dengan petani penggarap, itu kan ketentuan antara LPM dan petani penggarap. Karena setiap tahunnya kita membayar ke Pemkot Tasikmalaya melalui rekening bagian aset, jelasnya.

Pada prinsifnya, silahkan saja kalau para petani di Kelurahan Parakannyasag mengiginkan dengan sistem sewa lahan, tapi dengan catatan harus konsekwen bayar di muka, jangan sampai menunggu hasil panen baru bayar. Karena kita juga bayar retribusi di muka ke bagian aset yang ada di Pemkot Tasikmalaya setiap tahunnya,  tegas tokoh masyarakat yang akrab dipanggil dengan sebutan H. Yudha ini.

Terus perlu diketahui juga, tidak semua lahan pertanian aset Pemkot Tasikmalaya yang ada di Kelurahan Parakannyasag pengelolaannya dikuasai oleh LPM. Ada juga aset Pemkot Tasikmalaya yang dikelola oleh pihak Kelurahan. Contohnya, yang ada disekitar lingkungan Kelurahaan Parakannyasag, itu kan pengelolaan dikuasi oleh orang-orang yang ada di Kantor Kelurahan Parakannyasag, terang H. Yudha.

“Yang dikelola oleh LPM kan cuma beberapa petak saja, yang kalau ditotalkan sekitar 300 bata, dan semua kontraknya resmi secara tertulis dengan pihak Pemkot”, katanya.

Kalau lahan aset Pemkot yang dikuasi oleh pihak Kelurahan saya tidak tau, yang pasti saya pun menggunakan lahan yang ada di Kelurahan untuk program penanam bunga sedap malam secuil pun tidak ada tertulis secara kontraknya dari pihak Kelurahan, sehingga saya pun tidak tau jangka waktunya sampai kapan saya harus memanfaatkan lahan tersebut”, kata H. Yudha nada bertanya. (ToM).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *