BANDUNG BARAT, PelitaOnline-Sebanyak 112 dari 165 desa se-Kabupaten Bandung Barat (KBB) bakal menyelenggarakan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Serentak 24 November 2019. Banyaknya desa-desa yang akan menggelar pesta demokrasi tersebut ditengarai cukup menimbulkan kerawanan konflik.
Hasil evaluasi Panitia Pilkades KBB menyebutkan, dalam salah satu poin aturan penyelenggaraan Pilkades Serentak, terdapat klausul yang masih mendapat penolakan dari warga desa. Klausul tersebut yang menyatakan jika calon kepala desa diperbolehkan bukan penduduk setempat.
“Inilah salah satunya yang perlu diantisipasi oleh kita, dalam penyelenggaraan Pilkades Serentak. Penolakan tentang calon dari luar desa, ” ujar Wakil Ketua Pilkades KBB Wandiana, usai memberikan paparan tentang Pilkades Serentak tahun 2019 pada acara Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) KBB yang diselenggarakan Bidang Tata Pemerintahan Setda KBB, Selasa (30/7/2019) di Lantai 3 Gedung Utama Komplek Perkantoran KBB.
Padahal sambung Wandiana, aturan baru yang menyebutkan tentang membolehkan calon dari luar desa tersebut memiliki kekuatan hukum. Hal itu mengacu pada Undang-undang Dasar 45 bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama, berhak dipilih dan memilih.
Diungkapkan Wandiana sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK), kandidat kades harus berdomisili di desa pemilihan minimal satu tahun. Namun aturan tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 45 sehingga lahirlah aturan baru yang membolehkan kandidat kades berasal dari luar desa setempat.
Kerawanan konflik lainnya yang perlu disikapi adalah kandidat membawa massa dari luar desa. Hal itu memungkinkan terjadi apabila kandidatnya dari luar desa. “Padahal pihak luar tidak boleh ikut campur. Inipun yang perlu diantisipasi,” tegas Wandiana, yang juga menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) KBB.
Potensi kerawanan lainnya yang tidak boleh diabaikan kata Wandiana, tentang identitas penduduk. Mereka yang berhak memberikan suara dalam Pilkades tersebut adalah yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau minimal telah melakukan perekaman KTP elektronik. “Yang boleh mengeluarkan surat keterangan bahwa warga sudah melakukan perekaman hanyalah Disdukcasip (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil), sebagai penyelenggara Catatan Sipil. Jadi desa atau kecamatan tidak berhak mengeluarkannya,” jelasnya.
Untuk mengantisipasi kerawanan tersebut kata Wandiana, pihaknya meminta agar para camat dan kades harus melakukan pendataan sejak awal. Pendataannya mulai dari sekarang hingga ditetapkan jadi daftar pemilih tetap (DPT). Karena kalau sudah jadi DPT, maka jumlah suara sudah terkunci tidak bisa lagi ada penambahan hak pilih.
Ia juga menyatakan, yang tidak kalah pentingnya untuk antisipasi kerawanan konflik adalah independensi dan kepiawaian panitia dalam mengatask berbagai persoalan.”Saya minta panitia tetap berpegang teguh pada Perbup (Peraturan Bupati) No 35 tahun 2019. Jangan ke luar dari itu,” ucapnya. (Nie)