MEMAHAMI LEBIH DALAM ASPEK PERPAJAKAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH

I.  Definisi dan Pengertian tentang UMKM

Definisi UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) adalah sebuah usaha yang bergerak dalam hal perdagangan dan aktivitas berwirausaha. Berdasarkan definisi tersebut, ada beberapa kriteria yang menentukan jika suatu usaha tergolong dalam UMKM, seperti besaran omzet hingga pengenaan pajaknya (Kriteria UMKM & Definisinya).

Sebelum membahas lebih lanjut tentang kriteria UMKM, mari pahami terlebih dahulu pengertian UMKM. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan usaha yang bergerak dalam hal perdagangan, yang mana menyangkut aktivitas berwirausaha. UMKM bisa dikelola oleh perorangan maupun badan usaha, yang mana usaha ini termasuk sebagai kriteria lingkup kecil atau mikro.

Di era tahun 1998, usaha dengan skala kecil dan menengah mampu bertahan dibanding perusahaan-perusahaan besar, hal itu dikarenakan kebanyakan usaha kecil dan menengah tidak bergantung pada modal besar atau pinjaman yang menggunakan mata uang asing, sehingga berpengaruh dan mengalami krisis pada saat kondisi perekonomian menurun. Di era sekarang ini, usaha mikro, kecil, dan menengah memiliki peran penting dan strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Semakin berkembangnya kemajuan peradaban, masyarakat juga semakin cerdas dalam mengelola bisnisnya. Sebagian besar pelaku bisnis UMKM kini memanfaatkan platform market place (bisnis berbasis on line) atau media sosial untuk memasarkan produk maupun jasanya.

Klasifikasi UMKM terbagi menjadi 3 kriteria berdasarkan jumlah karyawan, pendapatan, dan aset yang dimiliki dari usahanya, antara lain :

a.  Usaha Mikro

Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (Pasal 1 ayat 1, UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH). Kriteria UMKM ini, a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) berdasarkan Pasal 6 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2008.

b.  Usaha Kecil

Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang (Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2008). Kriteria UMKM ini, a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) berdasarkan Pasal 6 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2008.

c.  Usaha Menengah

Selain kriteria UMKM usaha mikro dan usaha kecil, dikenal juga kriteria UMKM menengah. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah) berdasarkan Pasal 6 ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2008.

II.  Perkembangan UMKM di Jawa Barat

Jawa Barat ialah provinsi dengan jumlah UMKM terbesar di Indonesia. Kementerian Koperasi dan UMKM mendata ada sebanyak 1,4 juta UMKM, dimana angka itu bahkan menjadi semakin besar bila mengutip data BPS Jawa Barat yaitu 4,4 juta pelaku UMKM. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat sedang berupaya dan terus menyokong Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Jabar untuk memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB). Merujuk pada catatan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Propinsi Jawa Barat, memasuki awal tahun 2023 bulan Januari sampai dengan September, sudah mencapai kurang lebih 600.000 UMKM yang telah memilik NIB, dengan jumlah total NIB sejak dirilis pada bulan Agustus 2021, sudah berjumlah 1,2 juta UMKM. Provinsi Jawa Barat dalam hal ini DPMPTSP Jabar menargetkan pada 2023 jumlah UMKM di Jabar yang memilki NIB mencapai 2,2 juta UMKM.

Tabel : Jumlah Usaha Mikro dan Kecil Menurut Kabupaten / Kota di Propinsi Jawa Barat

 

I.     Pengenalan Hak dan Kewajiban Perpajakan UMKM

Meningkatnya jumlah UMKM di Indonesia disebabkan faktor perkembangan perekonomian yang semakin membaik seiring dengan kondisi pandemi covid yang semakin mengecil, munculnya berbagai perbaikan peraturan, infrastruktur dan kebijakan di bidang ekonomi di dalam negeri sebagai pendorong perubahan pada pola produksi serta konsumsi barang dan jasa oleh sebagian besar masyarakat menjadi waktu yang tepat untuk percepatan pertumbuhan UMKM. UMKM sebagai salah satu pilar perekonomian Indonesia, memiliki peran yang sangat penting pada era tiga tahun terkhir ini.

Penggalian potensi penerimaan pajak dari sektor UMKM merupakan salah satu fokus kerja Direktorat Jenderal Pajak. Pemerintah dalam hal ini DJP sebagai institusi penyelenggara perpajakan terus mendorong pelaku UMKM untuk mematuhi hak dan kewajiban perpajakannya, terlihat dari beberapa kebijakan yang mendorong peningkatan kepatuhan pelaku UMKM.

Pajak merupakan kewajiban bagi warga negara Indonesia yang berpenghasilan. Sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 1 angka (1) bahwa: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

a.  UMKM dengan penghasilan bruto tertentu

UMKM dengan penghasilan bruto tertentu dikenai pajak berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2018 yang telah diperbarui dengan PP No. 55 Tahun 2022, UMKM dengan penghasilan bruto di bawah Rp 4,8 miliar setahun dapat menggunakan tarif PPh Final UMKM sebesar 0,5% dari penghasilan bruto yang diperoleh. Pemanfaatan tarif 0,5% dari penghasilan bruto dapat dimanfaatkan wajib pajak dalam jangka waktu tertentu saja sesuai masing-masing bentuk usahanya. Berikut ketentuan seberapa lama penggunaan tarif PPh Final UMKM 0,5% PP 23/2018 (diganti PP 55/2022):

  1. 7 tahun untuk WP Orang Pribadi
  2. 4 tahun untuk WP Badan berbentuk Koperasi, CV, atau Firma
  3. 3 tahun untuk WP Badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dimana jangka waktu penggunaan tarif PPh Final 0,5% tersebut terhitung sejak:
    • Tahun Pajak WP terdaftar, bagi WP yang terdaftar sejak berlakunya PP 23/2018
    • Tahun Pajak berlakunya PP 23/2018, bagi WP yang terdaftar sebelum berlakunya PP ini

Setelah waktu pemanfaatan tarif PPh 0,5 % selesai dari masa yang telah ditentukan, maka perhitungan pajak akan menggunaan tarif pajak normal Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh bagi WP Orang Pribadi Usahawan atau dengan   menggunakan   metode perhitungan NPPN (Norma Penghitungan Penghasilan Neto). Sementara wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer ( CV ), Firma, Perseroan Terbatas ( PT ), atau Badan Usaha Milik Desa/Badan Usaha Milik Desa bersama, perhitungan pajak menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dengan pertimbangan Pasal 31 E UU PPh untuk WP Badan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, wajib pajak orang pribadi pengusaha dengan peredaran bruto tertentu tidak dikenakan pajak penghasilan selama peredaran bruto dari usaha sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak yang dihitung secara kumulatif sejak masa pajak pertama dalam suatu Tahun Pajak atau bagian tahun pajak.

b.  UMKM berbentuk badan hukum dan berstatus pengusaha kena pajak

UMKM yang berbentuk badan atau wajib pajak berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang peredaran brutonya pada Tahun Pajak berjalan telah melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), atas penghasilan dari usaha tetap masih dapat menggunakan fasilitas pajak dengan tarif 0,5% sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) sampai dengan akhir Tahun Pajak bersangkutan. Selanjutnya wajib pajak badan tersebut sudah harus menggunakan tarif normal sebesar 22% mulai 2022 sesuai Pasal 64 ayat b PP 55/2022. Penyesuaian tarif PPh Badan untuk Perseroan Terbuka (Tbk) diatur dalam PMK No 40 Tahun 2023.

II.    Kategori Jenis Pajak UMKM

Kewajiban perpajakan yang harus dilaksanakan oleh perusahaan yang tergolong usaha berkategori UMKM terdiri dari dua jenis pajak, yaitu pajak yang harus dibayar maupun harus dilaporkan setiap bulan dan pajak yang dibayar serta dilaporkan setiap tahun atau pajak tahunan.

a.  Pajak bulanan

Pajak yang harus dibayar atau dilaporkan setiap bulan, biasa dikenal dengan sebutan Pajak Masa, terdiri dari:

  1. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 jika UKM punya karyawan
  2. PPh Pasal 23 jika ada transaksi jasa dengan WP dalam negeri
  3. PPh Pasal 26 jika melakukan transaksi jasa dengan WP luar negeri
  4. PPh Pasal 4 ayat (2) jika terdapat sewa gedung/kantor dan lainnya
  5. PPh Final UMKM jika menggunakan tarif PPh 0,5%
  6. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jika UKM sudah berstatus PKP

b.  Pajak tahunan

Pajak yang harus dibayar atau dilaporkan setiap tahun, biasa dikenal dengan sebutan Pajak Tahunan, yakni: PPh Wajib Pajak Badan

UMKM yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan berkategori pengusaha dengan skala usaha menengah (omset diatas Rp.4,8m) dikenakan dengan kriteria PPh Badan yang dibayarkan setahun sekali atau melalui angsuran PPh Pasal 25 yang dibayarkan setiap bulan, dan PPh Pasal 29 jika terdapat kekurangan pembayaran pajak setelah diilakukan perhitungan jumlah pajak akhir yang harus dibayar.

III. Skema Pemanfaatan Pajak UMKM

Pajak yang diterapkan kepada UMKM adalah pajak yang dikenakan secara final, sehingga PPh Final dalam PP 23 pajak UMKM ini tidak dapat dikreditkan di akhir tahun pajak pada saat pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Tahunan.

PMK No. 99 Tahun 2018 mengatur tentang Pelaksanaan PP 23 / 2018, dimana Pajak Penghasilan yang terutang dapat dilunasi dengan 2 cara, yaitu: penyetoran sendiri oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dipotong atau dipungut oleh pemotong atau pemungut pajak yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut pajak. Pemotong atau pemungut pajak berkedudukan sebagai pembeli atau pengguna jasa wajib melakukan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap wajib pajak yang memenuhi kriteria PP 23/2018 dengan tarif setengah persen.

IV.  Tata Cara Perhitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan

Usaha Mikro Kecil dan Menengah berkategori wajib pajak badan ataupun wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha / atau kegiatan bisnis disebut wajib pajak pribadi pengusaha. Untuk melakukan pembayaran pajak penghasilan, UMKM harus menghitung terlebih dahulu berapa besar PPh terutangnya. Untuk mengetahui jumlah Pajak Terutang, wajib pajak harus mengetahui Dasar Pengenaan Pajak (DPP) pajak penghasilannya, dengan cara: Menghitung jumlah Penghasilan Kena Pajak, kemudian dikalikan tarif pajak.

  1. Cara Melakukan Pembayar Pajak Terhutang

Pajak Penghasilan (PPh Final) UMKM wajib dibayarkan saat penghasilan diterima dalam masa pajak. Hal Ini untuk mempermudah dan menyederhanakan mekanisme perpajakan dan mengurangi beban administrasi wajib pajak, khususnya bagi wajib pajak yang masih dalam tahap pertumbuhan dan belum mampu menyelenggarakan pembukuan keuangan secara baik. Pembayaran PPh Final UMKM 0,5% dari omzet bruto disetor ke kas negara setiap tanggal 15 bulan berikutnya dengan mencantumkan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran (KJS) 420.

I.       Tata Cara Pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak

Wajib pajak UMKM wajib menyampaikan SPT Masa PPh paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir atau setiap bulannya. Setelah melakukan pembayaran maka wajib pajak dianggap telah menyampaikan SPT Masa PPh sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Akan tetapi jika wajib pajak pelaku UMKM tidak memiliki peredaran usaha pada bulan/masa tertentu, maka tidak wajib menyampaikan SPT Masa PPh.

Wajib pajak UMKM yang bertindak sebagai Pemotong atau Pemungut pajak, maka wajib menyampaikan SPT Masa PPh atas pemotongan atau pemungutan PPh yang telah dilakukan paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

Tata cara pelaporan SPT Tahunan, sebagai berikut :

  1. Persiapan dokumen untuk wajib pajak orang pribadi
    • Formulir 1770
    • Laporan keuangan atas usaha atau neraca dan laporan laba rugi (jika menggunakan metode pembukuan)

 

  • Laporan peredaran bruto/rekapitulasi bulanan peredaran bruto dan biaya (jika menggunakan metode NPPN)
  • Daftar perhitungan peredaran bruto (jika menggunakan perhitungan sesuai PP 55/2022)
  1. Persiapan dokumen untuk wajib pajak Badan
    • Formulir SPT PPh Badan 1771
    • Laporan keuangan atau laba rugi dan neraca
    • Daftar penyusutan
    • Daftar peredaran bruto
    • Daftar pembayaran final UMKM PP 55 Tahun 2022

I.         Kesimpulan

a.  Kemudahan administrasi perpajakan

Penggunaan skema tarif PPh 0,5%, sangat memudahkan wajib pajak khususnya UMKM dalam melakukan hak dan kewajiban perpajakannya.

b.  Adanya kepastian hukum

Ketentuan berupa peraturan dibidang perpajakan menyangkut pelaku usaha UMKM menegaskan bahwa wajib pajak dapat menggunakan tarif 0,5% dalam waktu yang sudah ditentukan dan setelah habis masa dan atau memiliki omzet di atas Rp4,8 miliar, maka di tahun pajak berjalan masih bisa menggunakan tarif 0,5% sampai akhir tahun, selanjutnya menggunakan tarif PPh Pasal 17.

c.  Keberadaan UMKM sebagai penopang perekonomian masyarakat

UMKM sebagai salah satu basis perekonomian masyarakat sangat menopang tingkat kemakmuran rakyat. Beberapa manfaat keberadaan UMKM, antara lain :

  1. Menciptakan lapangan pekerjaan baru yang bisa menyerap banyak tenaga kerja sehingga bisa mengurangi pengangguran
  2. Menciptakan iklim usaha yang sehat dalam persaingan dagang yang terdampak dari perkembangan perekonomian global
  3. Penopang perekonomian utama dalam masa pandemi, resesi ekonomi dan kondisi perekonomian yang tidak menentu
  4. Berkontribusi kepada negara melalui penerimaan pajak dimana potensi penerimaan pajak dengan jumlah UMKM yang meningkat bisa diprediksi kurang lebih memberikan masukan 2 sampai dengan 3 trilyun dalam satu tahun pajak di propinsi Jawa Barat

Demikian sekelumit artikel yang berkaitan dengan edukasi dibidang perpajakan tentang pengetahuan perpajakan UMKM, semoga bermanfaat untuk semua pembaca terkhusus pengusaha UMKM sehingga bisa menjalankan kewajiban perpajakan dengan benar.

Pajak Kuat…. Indonesia maju.

Penulis : INDRA KUSUMA DJAJA

Pejabat Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Muda Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *