TASIKMALAYA||Pelita Online|| Seperti biasanya, memasuki tahun ajaran baru sekolah menjadi momentum juang tersendiri bagi anak hingga orang tuanya. Terlebih ketika berupaya untuk bisa masuk sekolah tujuan. Dan, yang masih jadi bidikan sampai hari ini, mengejar bisa masuk sekolah negeri favorit atau terdekat.
Khususnya mereka yang tengah melanjutkan ke jenjang pilihan SMA/sederajat. Keluhan demi keluhan sampai menduga pengaturan pola zonasi dianggap tak objektif. Gaung itu masih terdengar di Kota Tasikmalaya, hingga tahun ini masih menggema.
Ada dugaan dari orang tua anak, kegiatan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2024-2025 di lingkup SMA/SMK/sederajat dalam wilayah Kantor Cabang Dinas Pendidikan XII Disdik Jabar, tidak berjalan semestinya. Itu mengherankan orang tua anak.
Sebagaimana diketahui PPDB tahap 1 (satu) Provinsi Jawa Barat (Jabar) tahun ajaran 2024-2025 SMA/sederajat baru saja usai dilaksanakan, atau tepatnya sejak 3-7 Juni 2024 lalu. Namun setiap tahunnya, pelaksanaan PPDB yang masuk di Cadisdik Wilayah XII tersebut kerap menimbulkan harap-harap cemas bagi Calon Peserta Didik (CPD) dan para orang tua anak.
Mengapa tidak, bagi CPD baru keluarga kelas menengah ke atas, sekolah swasta masuk dalam daftar pilihan teratas demi mendadapatkan akademis dan sosial. Walaupun ekonomi orang tua CPD baru tersebut pas-pasan, sedangkan menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri adalah prioritas dengan harapan biaya pendidikan bisa lebih ringan.
Seperti diungkapkan salah seorang orang tua anak CPD yang merupakan warga Bungursari, Kota Tasikmalaya Endin (54) yang menyebutkan perlu mengeluarkan isi dompet lebih banyak jika mesti menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta.
“Sekolah Swasta jelas mahal, lantaran di Bungursari belum ada SMA Negeri. Ingin sekali masuk ke sekolah negeri, tapi jauh di Indihiang” ujarnya pada pelitaonline.co.id Kamis (13/6/2024).
Endin pun memaparkan, memang beberapa sekolah swasta memberikan program beasiswa dan bantuan bagi anak dari keluarga tidak mampu. Namun program itu tak bisa dirasakan oleh semua pelajar. Kompetisi dalam bidang prestasi akademik sangat menentukan. “Ada program-nya, namun semuanya kepentingan,” tandasnya.
Lebih lanjut Endin menyebut, bahwa rata-rata pendapatan masyarakat Bungursari tidak sepadan dengan biaya sekolah yang harus dikeluarkan. Belum lagi, mereka yang bisa masuk kuota negeri, juga kerap mengandalkan “jalur orang dalam”.
“Bukan rahasia umum lagi. Miris memang, tapi sudah biasa. Ada jalur zonasi, prestasi, sementara orang punya kuasa jalur istimewa (orang dalam- red). Sudah seperti hal lumrah itu. Coba tanya dewannya satu-satu. Pasti mereka punya kuasa untuk masukkan ke mana saja,” cetusnya.
Kemudian Endin menyebutkan kondisi kemampuan ekonomi masyarakat di Kecamatan Bungursari. Banyak masyarakat yang masih kesusahan untuk bertahan hidup. Terlebih untuk membiayai pendidikan.
“Memang, sekolah swasta ada program pemerintah, tetapi belum terjangkau. Lihat di letak geografis, Kecamatan Bungursari, termasuk kecamatan paling termiskin. Meski Pemkot Tasikmalaya ada di Kecamatan Bungursari, tetapi Kecamatan termiskin? Pendidikan SMA Negeri belum ada,” keluh Endin.
Begitupun yang disampaikan Asep (56), bahwa kini anaknya tengah mendaftar ke SMAN 4 Tasikmalaya. Ia pun cemas, akankah jalur zonasi meloloskan buah hatinya menjadi siswa sekolah negeri.
“Nembe daftar tahap 1, duka lebet kuota duka henteu (baru saja daftar di tahap 1, gak tahu masuk kuota atau tidak-red),” ucapnya kepada pelitaonline.co.id
Kemudian ia menjelaskan jarak antar rumah dan sekolah yang diinginkan anaknya itu sejauh 2.645.082 meter. Di pilihan kedua, ia memilih SMAN 5 Tasikmalaya, dengan jarak 4.149.166 meter.
“Mudah-mudahan saja sesuai dengan harapan anak, dapat diterima di SMA Negeri pilihanya” harap Asep.
Hingga berita ini publish, Dedi Suryadin SPd, MPd selaku Kepala Cabang Dinas (Kacabdin) Pendidikan Wilayah XII belum berhasil dimintai konfirmasinya.||tommy riyaldi||