JAKARTA PelitaOnline– Akhirnya, setelah melalui diskusi yang ketat, para juri Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2018 merampungkan tugasnya dan kelima pemenang Adinegoro 2018 siap menerima penghargaan di depan Presiden RI pada acara puncak Hari Pers Nasional, 9 Februari 2019 di Grand City, Surabaya Jawa Timur.
Sebagaimana telah disiarkan, juri Anugerah Jumalistik Adinegoro 2018 telah menyelesaikan penilaian enam kategori karya jurnalistik pada Januari 2A19 di Kantor PWI Pusat, .Ialan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Selain kategori indepth reporting (penulisan berkedalaman) media cetak ;,ang kali ini diputuskan para juri – Marah Sakti Siregar, Dr.Artini. Putut Husodo – tidak ada pemenang, kelima pemenang adalah:
l.Kategori Televisi bertajuk “Suara Dari Rimba” (Liputan 6 SCTV),
2.Kategori Radio bertaiuk “Suara Disabilitas Mental dalam Demokrasi Rasional” (RRI Surabaya),
3.Kategori Karikatur bertajuk “Hantu Pilpres 2019” (Harian Jav,a Pas’),
4.Kategori Foto bertajuk “Kampanye Damai Jadi Pendidikan Politik (Harian Kompas), dan
5.Kategori Siber bertajuk “Kejar Kemenangan Agung, Kalah Pun Terhormat” (iayakartanews,com)
Para Juri Anugerah Jurnalistik Adinegoro Kategori Televisi – Nuriaman Mochtar, lmmas Sunarya, Imam Wahyudi – memutuskan .features nev,s televisi berjudul “Suara Dari Rimba” karya Anton Bachtiar Rifa’I yang ditayangkan Liputan 6 SCTV i3 Desember 2018 menjadi peraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2018 Kategori Televisi.
“Topik yang diangkat menarik dan unik. Ceritanya pendek, tapi berhasil menyampaikan pesannya. Kami sangat menghargai keberanian dari produser story ini untuk keluar dari hiruk-pikuk gambar kerumunan orang. Dia mengambil tema pinggiran yang jarang dipikirkan orang. Itulah bagian dari penilaian kami atas topik, pesan, bahasa visual, komposisi, dankualitas gambar yang dikemasnya menjadi karya yang layak mendapatkan urutan pertama,” jelas Nurjaman Mochtar, Ketua Dewan Juri Kategori Televisi.
Karya Anthon Bachtiar Rifa’I ini, jelas Nurjaman Mochtar, adalah hasil karya tim SCTV – Anton Bachtiar R, Frets Ferdinand, dan Iwan Setiawan * yang dikemas secara apik dan mampu menarik keingintahuan tentang Suku Anak Dalam, bagian dari rakyat Indonesia yang melakukan hak pilihnya.
“Kita jadi ingin tahu bagaimana Suku Anak Dalam sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih untuk menentukan nasib bangsa ini iima tahun ke depan. Apakah mereka sudah tahu 01 dan 02.” tandas Nurjaman yang banyak menjadi pembicara dan konsultan di bidang perlelevisian ini.
Menurut Immas Sunarya, juri lainnya, “Suara Dari Rimba” ini memilih topik yang sangat spesifik dengan lokasi yang cukup jauh dari hiruk-pikuk ibu kota. Menampilkan Suku Anak Dalam, suku terasing di Sorolangun Jambi.
“Topiknya memiliki keunikan tersendiri, ditambah bahasa daerah tersendiri pula. Dikemas dengan baik. Khusus menampilkan siaran radio lokal untuk memberikan edukasi terhadap Suku Anak Dalam tentang Pemilu agar mereka memahaminya. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang juga harus menikmati pesta demokrasi. menampilkan salah satu wakil dari
Suku Anak Dalam sebagai penerjemah agar pesan dari siaran radio tersebut dapat dimengerli masyarakat suku tersebut, tayangannya jadi menarik dan unik,” tutur Immas Sunarya. Pesannya mudah dicerna semua pihak. “Sangat komunikatit, sangat sederhana dalam artian mudah dipahami. Visual. komposisi kualitas gambar cukup menarik. Tata editing cukup bagus.” tambah Immas Sunarya.
Menurut Immas, produser betul-betul berusaha menampilkan sesuatu yang berbeda dari hiruk-pikuk pesta demokrasi. “Mungkin orang lain tidak terpikirkan kehidupan di pedalaman yang tidak tersentuh kampanye. Namun, dengan mengangkat tema ini, pesta demokrasi diharapkan dapat menyentuh semua penduduk Indonesia tanpa kecuali. Sangat menggugah penonton,” papar Immas Sunarya.
Berdurasi Pendek Sarat Informasi
Senada dengan kedua juri, Imam Wahludi menyatakan, tayangan ini berdurasi pendek tapi sarat informasi. “Suara dari Rimba” berisi hasil liputan inisiatif dari sebuah LSM di Jambi untuk menjangkau suku-suku rimba yang tersebar di rimba Bukit Dua Belas, Jambi, melalui siaran radio komunitas. Berbekal peralatan sederhana dan pemancar dengan daya jangkau 12- 24 km, Stasiun Radio Suara Rimba menyebarkan berbagai informasi, termasuk informasi tentang pernilu dengan bahasa yang dipahami anak rimba. Dalam program wawancara, jika narasumber berbahasa Indonesia, penyiar akan menerjemahkannya ke dalam bahasa suku rimba. Begitu sebaliknya.
“Slory ini paket pendek. Bukan ‘long forrnal’. Namun, dalam durasi yang pendek, tim mampu mengemas dan menyampaikan pesan inti dengan efektif dan impresif. Ini bisa terjadi karena mereka jeli dan tekun dalam mencari dan merekam shot-shot dan natural sound yang mampu “bercerita”. Ketika dijahit dalam satuan-satuat sequence. natural sound dalam shotitu tidak dihilangkan dan dig4pti dengan musik danvoice over sebagaimana yang sering terjadi. Nalural sound dalam shot-shot itu dibiarkan mengambang meskipun lamat. Beberapa di antaranya bahkan ditonjolkan (upsounfi. tanpa t,oice over sehingga memungkinkan penonton mendapatkan impresi utuh mengenai realitas yang diliput. Dan story ini, penonton antara lain bisa melihat dan mendengarkan bagaimana suasana yang terbangun saat penyiar radio mewawancarai Ketua KPtID Jambi dan kemudian menerjemahkannya ke dalam Bahasa suku rimba,” tutur Imam Wahyudi.
Persisnya, tambah Imam, penonton juga diajak bukan han,va menonton, tetapi juga mendengarkan bagaimana seorang pria suku rimba mengotak-atik radio mini miliknya untuk menangkap siaran Radio Suara Rimba dan mendengarkan siaran bersama keluarganya di dalam gubuk di hutan. Selain story lelling, beberapa shot yang diambil untuk membangun paket ini juga menarik. Enak dilihat. “Jadi kami sepakat. isu yang diangkat dalam story ini adalah isu pinggiran, jauh dari hingar-bingar isu politik yang nyaris seragam di tingkat nasional. Namun, isu ini menarik dan secara substantif penting serta inspiratif,” ujar Imam Wahyudi.
Pemenang Kategori Jurnalistik Radio
Features Radio berlajuk “Suara Disabilitas Mental Dalam Demokrasi Nasional” karya Benny Hermaw-an yang dirilis RRI Surabaya 79 November 2018 serta “Kejar Kemenangan Agung, Kalahpun Terhormat” karya Sri Isw’ati yang disiarkan siber jq,akartaney,s.com 30 November 2018 berhasil meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2018 Kategori Radio dan
Kategori Siber.
Sesuai tema “Masyarakat Pers Mengawal Pemilu yang Demokrat dan Bermarlabat”, para juri Kategori Radio yang terdiri dari Errol Jonathans (Ketua Dewan Juri), Awanda Erna, dan Chandra Novriadi sepakat bahwa radio-radio peserla Anugerah Jurnalistik Adinegoro kali ini lebih berkualitas dalam teknik audio, human interest, objektif, dan tepat sasaran. Lugas, bermakna, sarat edukasi dan informatif, serta memiliki kepekaan yang tinggi. Khususnya sang pemenang, mampu mengemas karya imajinatif inovatif” edukatif, menghadirkan tema yang objektif, dengan sentuhan hztman interest dan kepekaan yang tinggi.
Mengompilasi hot isu Pemilu sebagai objek pemberitaannya, menghadirkan kondisi psikis yang diramu dengan apik, serta memupus stigma bahwa disabilitas jiwa selama ini tidak bias apa-apa. Karena temyata, disabilitas kejiwaan itu memiliki tingkatannya.
“Inilah pers yang peka menanggapi ltot issue bahwa suara disabilitas kejiwaan ini jrga memiliki hak dalam memilih. Kemasannya lengkap, ada pro-kontra dari elite politik. Pihak medis yang mengungkap bahwa disabilitas ini memiliki tingkatannya. Ketika dalam kondisi benar, dia mampu berbicara benar dan logis. Edukasinya pun sarat. Dari segi narasumber, akurasi, audio. lengkap sekali dan inlbrmasinya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan,” kata Er:rol Jonathans, yang juga konsultan di bidang radio ini.
Senada dengan Errol Jonathans, Awanda Erna yang banyak menjadi pembicara dan pengajar jurnalistik radio ini menyatakan, secara umum banyak karya pesefia yang menyentuh tematik dan juga berkualitas dalam kemasan beritanya. “Haoya sayangnya, penyajian mereka sangat lokus. Tidak menangkap hot issue yang nasional seperti karya si pemenang ini,” ujar Awanda Erna.
Awanda menggambarkan, dalam karya radio ini. si penderita disabilitas dapat diu,awancara. “Bisa jadi. dia tunggu sampai tepat waktunya untuk diaiak berbicara tentang haknya. Narasinya bertutur dalam kemasan ini juga enak didengar sehingga mengalahkan karya-karya lain yang juga bagus-bagus,” ujar Awanda Erna.
Pemenang Kategori Jurnalistik Siber
Dari Kategori Jurnalistik Siber, pada Selasa, 15 Januari 2019 Dewan Juri mernutuskan sebagai pemenang adalah karya Sri Iswati yang dimuat di : : ,: , : . ‘,: :, berlajuk “Kejar Kemenangan Agung, Kalahpun Terhormat”. Karya tersebut disepakati para juri sebagai kar,va iurnalistik yang penyajiannya netral, bertutur, tajam, dan beredukasi yang segar.
Menurut Dr.Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers, sebagai Ketua Dewan Juri Anugerah Jurnalistik Adinegoro Kategori Jurnalistik Siber ini, karya Sri Iswati ini merupakan sajian siber bertema dan mampu rnengajak pembacanya untuk memikirkan kondisi yang terjadi di republik ini, yakni mengejar kemenangan yang agung diidamkan semua pihak. damai dalam perbedaan. Menyentuh tema, mengingatkan, mengedukasi masyarakat tentang situasi dan kondisi NKRI.
Agus Sudibyo menilai, karya pemenang siber ini memenuhi kepentingan khalayak, inspiratif-, membangun, mengedukasi. menyentuh tema mengawal pemilu yang bermartabat, santun dalam mengkritisi. “Memberikan infomasi. Lengkap format siber dalam format yang segar, objektif dan enak dibaca dan lugas,” tutur Agus Sudibyo.
Menurut Petty Fatimah, juri lainnya, karya pemenang siber ini menggunakan semua /ools yang ada meskipun belum maksimal. “Suatu produk jurnalistik, pesan yang dibuatnya harus sampai ke komunikan. Tidak ambigu. Si wartawan harus mengemas pesannya sampai pada pembaca dengan tepat. Bagaimana itu harus sampai harus dibuat semenarik mungkin. mengekplorasi semua kemampuannya dengan pas dalam hitungan walitu yang sedikit mungkin” tapi lengkap,” jelas Petty Fatimah.
“Jadi paparan konten di media siber, selain unik” berlomba dengan waktu penyajian dan kreativitas yang terpadu. Karena pembacanya semua serba praktis. Baca dan terus pergi. Nah karya pemenang ini mampu menghentikan mata untuk tartarik atau berhenti sejenak guna membaca tulisannya. Dia menggunakan semua tools. video, foto. dan hal-hal terkait. Menarik, informatif, segar, dan kreatif sehingga pesannya yang lengkap itu sampai ke pembaca. Itulah yang ada di karya pemenang ini meski belum spektakuler sekali,” jelas Petty Fatimah,
Peminrpin Redaksi majalah Femina dan aktivis w-irausaha perempuan ini. Sependapat dengan kedua juri tersebut di atas, Dr.Mulharnetty Syas, Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi IISIP mengatakan, “Pesannya sampai ke komunikan. Santun bertutur. Kritisi dan edukasinya seimbang bertematik, segar dan dinamis bertutur. Memenuhi persyaratan berita, narasumbemya terw’akili, visualnya lengkap, lugas, dan enak membacanya,” ujar Mulharnetty Syas,***
Foto dan Karikatur Jawa Pos
Sementara Foto yang ditertritkan Harian Kompas 24 September 2018 llertajuk ‘oKampanye Damai Jadi Pendidikan Politik” karya Dimitrius Wisnu Widiantoro dan Karikatur yang diterbitkan Harian Jawu Pos 25 Oktober 2018 bertajuk “Hantu Pilpres 2019” karya Wahyu Kokkang berhasil meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2018. Sesuai n tema “Masyarakat Pers Mengaw-al Pemilu yang Demokrat dan Bermartabat”, foto iurnalistik berjudul “Kampanye Damai Jadi Pendidikan Politik” karya Dimitrius Wisnu Widi di Harian Kompas pada24 September 2018 menggambarkan dua kandidat presiden sedang menerbangkan merpati.
Para juri yang terdiri dari Enny Nuraheni (Ketua Dewan Juri), Tagor Siagian, dan Melly fuana Sari sepakat bahu’a foto-foto peserta Anugerah Jurnalistik Adinegoro kali ini lebih berkualitas dalam teknik, human interest. obiektif. dan tepat sasaran. Khususnya sang pemenang: “Dengan tema yang bisa jadi mengungkung kreativitas berkarya, tetap mampu menghadirkan tema yang objektif. dengan sentuhan human interest-nya, mengompilasi lingkungan objek yang bergerak dan situasi ketika pemotretan di mana dua kandidat hadir hingga pesannya sampai terbaca,” jelas Enni, Nuraheni. yang pernah meniadi pewarta foto di istana kepresidenan.
Senada dengan E*y, menutut Tagor Siagian. foto karya Wisnu Widi tersebut berhasil membawa semua pihak yang melihatnya serasa hadir di sana. “Saya percaya dia tahu persis agenda dan kelengkapan acaranya. sehingga sudut pengambilan foto dari dia berdiri itu, posisin;ra benar dan mengcover semuanya. Ini profesional yang lengkap. Netral, objektif, dan mampu menghadirkan komposisi ‘damai’ itu dengan sasaran bidik kamera yang tepat sehingga menghasilkan foto yang bagus berkualitas,” ujar Tagor, pewarta foto senior yang banyak memotret dunia olahraga, khususnya paralayang ini.
Melly Riana Sari, fotografer dan dosen fotografi, memaparkan bahwa secara teknis memotret. pemenang Kategori Jurnalistik Foto bertajuk “Kampanye Damai ,Iadi Pendidikan Politik” ini, terlihat sekali mampu menangkap “Burung Merpati” lambang damai itu dengan lensa kamera. “Persisnya secara teknis, si pemotret da’i Kompus ini tahu semua hal yang akan dipublikasikannya sebagai karya teknik foto berkonsep dan bertematik. Jelasnya, si pemotret tahu lapangan, berkonsep dan tahu persis agenda yang digelar sesuai tema yang diusung kegiatan itu dan dia bidik dengan tepat visualisasinya secara teknik dengan tepat,” papar
Melly Riana Sari. Pemenang Kategori Jurnalistik Karikatur Tentang karya Wahyu Kokkang di Harian ,Iawa Pos 25 Oktober 2018 bertaiuk “Hantu Pilpres 2019” yang berhasil meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2018, inilah komentar para jtrri Kategori .Iurnaiistik Karikatur, Dolorosa Sinaga (Ketua Dewan Juri), Agus Dermawan T, dan Gatot Eko Cah1,ono.
Metturut Dolorosa Sinaga. Dosen Institut Kesenian Jakarta dan Ketua Jr”ri Anugelah Jurnalistik Adinegoro Kategori .lurnalistik Karikatur ini, karya Wahyu Kokkang merupakan sajian karikatur bertema dan mampu mengekspresikan kekinian yang terjadi di republik ini, yakni ancaman ‘hoaks'” Menyentuh tema, mengingatkan, mengedukasi masyarakat tentang situasi dan kondisi yang sudah meresahkan.
“Menghantui, mengancam dan mencerdaskan khalayak bahwa ancaman ‘hoaks’ tidak mainmain. Perlu diwaspadai, bukan diabaikan, karena ada kondisi ini yang mengancam persatnan dan kesatuan bangsa.”ujar Dolorosa penuh semangat.
Sermentara Agus Darmawan T mengaku bangga dengan semua karya yang masuk karena sangat ekpresif kondisi sikon bangsa ini. “Inilah Editorial Karikatur yang potensial sejak tahun 1950 di era Soekarno dan harus dilegitimasi. Selain itu secara terus-menerus disosialisasikan dengan profesional yang didasari akar kebudayaan yang kuat di negeri ini. Hasil karya para kartunis hebat, kuat” dan mengaw-al sekali agenda demokrasi kita ke depan. Kompetisi ini berhasil karena konten yang diungkap para kartunis aktual, berternatik, edukasinya kental dan sekaligus menjadi media pengingat ancaman ‘hoaks’ yang bisa memicu bahaya ke depan,” urai Agus Dermawan ,vang mengusulkan adanya pendirian Lembaga Karikatur Indonesia yang bisa dipikirkan dan direalisasikan PWI ke depan.
Gatot Eko Cahyono, juri lain yang juga kartunis, juga mengaminkan usulan Agus Dermawan tersebut dan berharap lembaga atau institusi karikatur itu bisa jadi di bawah bidang Pendidikan kepengurusan PWI demi melegitimasi pelatihan-pelatihan editorial karikatur yang juga tergerus kemajuan teknologi hingga terpinggirkan tampilannya di media. (***)