Gizi Buruk

Oleh Dadan Supardan

Kasus gizi buruk masih saja mendera sebagian warga Jawa Barat. Umumnya diderita anak balita. Paling kini, kabar mengenaskan itu datang dari Kabupaten Tasikmalaya. Bayi kembar di Kampung Bojong Salak, RT 01 RW 14, Desa Manggungjaya, Kecamatan Rajapolah, mengalami gizi buruk. (pikiran-rakyat.com/18 Oktober, 2018)

Bukan saja milik Kabupaten Tasikmalaya, kasus gizi buruk juga menyergap kabupaten-kota lainnya di Jawa Barat. Di Kabupaten Subang misalnya. Masih dikabarkan pikiran-rakyat.com, data Dinas Kesehatan mencatat sekitar tujuh ribu anak menderita gizi buruk. Mayoritas anak usia 3 hingga 5 tahun. Sebanyak 76 ribu anak anak lainnya masuk kategori rawan mengalami gizi buruk.

Terkait dengan masalah gizi buruk, dikutip dari www.pikiran-rakyat.com 15 November, 2018, sedikitnya 6.192 anak di Purwakarta mengalami masalah pertumbuhan atau stunting. Pada kebanyakan kasus, faktor masalah stunting ini disebabkan oleh kekurangan asupan gizi saat masih berada di dalam kandungan. Anak-anak yang mengalami stunting tersebut hampir tersebar di seluruh kecamatan.

Ribuan anak yang mengalami “stunting” di Kabupaten Purwakarta tidaklah seberapa. Lantaran, Kabupaten Garut lah yang memiliki anak balita “stunting” paling tinggi di Jawa Barat. Dari data hasil survei yang dirilis Kementerian Kesehatan, sebanyak 43,2 persen anak balita di Garut mengalami “stunting” (Kompas.com, 11/10/2018).

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Dodo Suhendar menyampaikan, akar ‘stunting’ bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga masalah ekonomi yang membuat masyarakat sulit memenuhi kecukupan gizi serta tingkat pendidikan masyarakat yang berpengaruh pada pengetahuan tentang makanan sehat.

Sementara, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengaku punya solusi. Ia mencontohkan waktu jadi wali kota Bandung, ada program ojek makanan balita (Omaba). Dalam praktiknya, negara menyiapkan makanan bergizi kemudian dikirim lewat motor ke rumah warga yang mengalami gizi buruk dua kali sehari.

Langkah lainnya menurut Kang Emil sapaan akrab Ridwan Kamil, memberikan pelatihan kepada kepala desa atau lurah, untuk melakukan pelaporan dan pendataan kesehatan masyarakat secara online. Dengan sistem tersebut, seperti dikutip kompas.com, Kang Emil memastikan pertolongan pemerintah kepada masyarakat bisa cepat.

Hal itu disampaikan Kang Emil beberapa waktu lalu saat dirinya masih menjadi Calon Gubernur Jawa Barat dan mengunjungi Hasanudin, remaja penderita gizi buruk dan busung lapar di Desa Cadasmekar, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Purwakarta.

Ya, saya lebih suka Kang Emil berteriak Jawa Barat akan bebas dari wabah gizi buruk daripada gelegarnya akan menyulap Kali Malang di wilayah Bekasi menjadi seindah dan sebersih Sungai Cheyongyecheon di Seoul, Korea Selatan. Saya lebih hormat tatkala Kang Emil menyatakan perang terhadap potensi gizi buruk di Jawa Barat daripada lantang menggemakan akan membikin dua jalan layang di Kota Depok.

Bukan berarti saya antipembangunan infrastruktur. Tidak juga menganggap pembangunan fisik kurang penting. Akan tetapi hati ini lebih terenyuh dengan hal-hal yang dapat menyesakkan jiwa. Kenapa? Karena anak-anak Jawa Barat bukan anak-anak pengungsi Rohingya yang ada di Bangladesh. Untuk itu, Pak Gubernur, di awal-awal ini, teriakkan juga akan memberangus musuh orang miskin: gizi buruk (salah satunya).

Bukankah mencuatnya kasus gizi buruk merupakan tamparan pembangunan. Bagi yang merasa tertampar tentunya. Atau jangan-jangan sudah bebal. Lalu menutup-nutupi kondisi gizi buruk dengan menggemakan jorjorannya program-program pembangunan fisik.

Kang Emil, sungai boleh-boleh saja dibuat mirip seperti di Korea Selatan. Akan tetapi jangan dibiarkan anak-anak Jawa Barat kena gizi buruk mirip anak-anak pengungsi Rohingia di Bangladesh. Walaupun kedua-duanya sama berimejkan luar negeri.

Lantaran, di Jawa Barat masjid saja tengah dibagun terapung di atas danau raksasa. Danaunya juga dibuat sendiri di wilayah Gedebage Kota Bandung di atas lahan sekitar 26 ha. Apa artinya semua itu apabila masih banyak anak-anak terkena kasus gizi buruk. Ironi sekali. ***

Dadan Supardan, penulis lepas tinggal di Cileunyi Kabupaten Bandung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 komentar