MENAGIH janji atau menagih janji politik. Itu, biasa dilakukan oleh warga masyarakat, manakala si pemberi atau si pengumbar janji telah berhasil menduduki jabatan politiknya seperti menjadi kepala desa, menjadi anggota legislatif, bupati gubernur, dan presiden.
Janji-janji itu, biasanya ditagih setelah memasuki tahun pertama, tahun kedua atau tahun ketiga. Ya, setelah janji-janji sang pejabat politik itu, belum memenuhi janji-janjinya itu.
Semua orang juga tahu dalam masa kampanye, mereka mengobral janji, tiada lain agar dipilih oleh rakyat, sehingga keinginan jadi pemimpin, dan jadi anggota lesgilatif yang notabene wakil rakyat dapat terwujud. Maka berbagai janji pun diobral untuk menarik simpati, sehingga ketika pemilih berada di kamar bilik pemungutan suara menjatuhkan pilihan terhadapnya.
Janji politik itu, memang asyik dilontarkan, dan asyik didengar, seperti janji, jika terpilih akan mensejahterakan rakyat, akan membangun ini dan itu. Masyarakatpun banyak yang terbius, dan banyak juga yang sudah tidak percayai lagi terhadap janji-janji calon pemimpin dan wakil rakyat, berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya, karena tidak menepati janji-janjinya.
Biasanya, ketika mereka sudah terpilih menjadi kepala daerah, menjadi anggota legislatif dan menjadi presiden, seringkali lupa terhadap janji-janji yang telah diucapkannya dihadapan masyarakat pada saat melakukan kampanye. Mereka asyik , sibuk dengan dunianya sendiri sebagai pemimpin atau sebagai wakil rakyat.
Tidaklah heran, ketika janji itu, ditagih atau dipertanyakan, dijawab enteng dengan mimik wajah tanpa dosa alias watados, “Ah, itu ‘kan janji politik,”. Dia berkelit dengan pembenarannya sendiri, bahwa yang namanya janji politik bisa diingkari, bisa tidak ditepati.
Pemberi janji sering kali berkelit dengan alasan anggaran terbatas, skala prioritas dan rumus-rumus pengelolaan anggaran yang terkadang sulit dipahami oleh masyarakat.
Padahal yang namanya janji adalah utang yang harus dibayar. Apalagi janji politik, merupakan janji kepada publik atau janji kepada banyak orang yang harus ditepati, tidak ada alasan untuk diingkari. Janji adalah hutang.
Keinginan masyarakat singkat saja misalnya : Mana janjimu.Tepati janjinmu.
Akibat janji politik yang belum ditepati, terus menerus terjadi tarik – menarik dengan masyarakat yang diberi janji-janji. Si pemberi janji terus berkelit dan yang diberi janji terus menagih yang ujung-ujungnya mengurut dada kecewa. Menyesal mendukung dan memilih yang bersangkutan.
Dilain pihak si pemberi janji berhalusinasi ingin dua periode. Berbagai manuver politik terus digulirkan.Namun pura-pura lupa terhadap berbagai janji masa lalunya kepada para pemilihnya. (Penulis adalah salah seorang tukang parkir. Tinggal di Cianjur, Jawa Barat)
000