Memandang Keberadaan LRT Dari Sisi Lain, Bukan Hanya Dari Untung dan Rugi

PALEMBANG, PelitaOnline-Dalam sejarah Republik ini, keberadaan Light Rail Transit atau LRT pertama sekali ada  di Palembang. Ini proyek transportasi yang disyaratkan Dewan Olimpiade Asia (OCA) agar tersedia transportasi cepat. Sebab, syarat sebagai tuan rumah ajang olahraga internasional, yakni Asian Games ke 18, Palembang tak boleh bikin atlet terlambat bertanding atau berlatih. Biaya pembangunannya ditolong APBN Indoneisa, senilai sekitar Rp7 triliun.

LRT itu kini berdiri megah dan relnya menyusuri kota Palembang dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II hingga ke Jakabaring, tempat beradanya Jakabaring Sport City, tempat berlangsungnya beberapa pertandingan olahraga saat digelarnya Asian Gemes. Seharusnya, keberadaan LRT ini menjadi kebanggaan wong Palembang. Bagaimana tidak? Di Indonesia ini, baru di kota Palembang lah LRT ada, menyusul kemudian Jakarta. LRT bisa dijadikan Landmark kota Palembang selain Jembatan Ampera yang melegenda. 

Banyak wisatawan yang datang ke Palembang dalam 5 tahun terakhir ini karena Palembang adalah kota olahraga. Kota tempat berlangsungnya beberapa kejuaraan olahraga tingkat dunia, diawali SeA Games 2011, Islamic Solidarity Games 2013, Asean University Games 2014 dan terakhir Asian Games 2018. Belum lagi kejuaraan dunia lainnya yang bertaraf internasional, seperti Triatlon dan lain-lainnya. Mereka pun kagum dengan pembangunan yang terjadi di kota Palembang. Dari sebutan kota bandit, kini Palembang bisa dikatakan sebagai salah satu kota yang begitu maju pembangunannya. Lihatlah di mana-mana, tempat penjualan makanan, hotel pun bermunculan. Peningkatan ekonomi pun melejit.

Selain kemajuan kota yang begitu pesat, Palembang juga kebagian pembangunan infrastruktur lainnya selain LRT, yakni Jembatan Musi IV dan VI. Ini  jelas keuntungan lain ketika Palembang mentasbihkan diri sebagai Kota Olahraga yang terpusat di JSC. 

Sayangnya kini keberadaan LRT dikritik karena dianggap mubazir bahkan sia-sia. Penilaian miring ini semakin menjadi jadi setelah dijadikan komoditi politik menjelang pemilihan presiden 2018 ini. 

Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menyebut proyek infrastruktur yang dibangun Presiden (calon presiden) Joko Widodo (Jokowi) grusa-grusu alias terburu-buru. Dia menyebut proyek LRT Palembang sebagai contoh proyek yang dikerjakan terburu-buru dan tidak memberikan manfaat optimal kepada masyarakat sehingga cenderung menjadi proyek yang merugi.

“Banyak infrastruktur yang dikerjakan dengan grusa-grusu tanpa feasibility study yang benar dan ini menyebabkan banyak proyek infrastruktur yang tidak efisien dan rugi. Infrastruktur nggak bisa hanya jadi monumen. Sebagai contoh LRT palembang,” katanya dalam debat capres yang berlangsung 17 Februari lalu. 

Hal ini lantas dibantah Jokowi. Dia bilang proyek-proyek tersebut sudah menyita waktu perencanaan yang lama dan mengikuti ketentuan yang berlaku.

“Ini sudah direncanakan lama. Tentu saja ada (feasibility study) dan DED (detail engineering design) nya ada,” katanya.

Mengenai tudingan proyek yang tidak efisien dan merugi, Jokowi bilang semua butuh waktu. Hal ini disebut juga terjadi di negara lainnya karena dibutuhkannya perubahan budaya untuk masyarakat. “Semua butuh waktu. Memindahkan budaya yang saya pelajari di negara lain bisa sampai 10 tahun.”  Kata Jokowi.

Berdasarkan data yang diambil dari berbagai sumber, LRT Palembang merupakan proyek yang diinisiasi  pemerintah daerah Sumatera Selatan. Jokowi pernah mengatakan bahwa proyek ini diusulkan Gubernur Sumsel kala itu Alex Noerdin.

“September 2015. Gubernur (Alex Noerdin) sampaikan ke saya bahwa di Palembang sudah sebagian ruas jalan macet. Jadi ada usulan dari airport ke kota ada transportasi massal,” kata Jokowi pada 2016 lalu.

LRT Palembang sendiri merupakan proyek yang dilaksanakan menggunakan skema penugasan BUMN melalui Peraturan Presiden No. 116 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan di Provinsi Sumatera Selatan pada Oktober 2015. Di dalamnya diatur mengenai penugasan kepada PT Waskita Karya untuk membangun prasarana dan PT Kereta Api Indonesia untuk menyelenggarakan sarana kereta api.

Pelaksanaan proyek ini dilakukan lewat serangkaian fasilitas rapat koordinasi dan pemantauan secara aktif oleh komite pendanaan proyek infrastruktur prioritas (KPPIP). Proyek yang ditanggungjawabi Kementerian Perhubungan ini mulai dibangun pada 2015 dan beroperasi saat Asian Games pada Agustus 2018 lalu.  Proyek ini juga sempat dikaji konsultan GHK Consulting Ltd bekerja sama dengan Halcrow dan PT Lenggogen. Kajian dilakukan antara Agustus 2010 hingga Februari 2011.

Tujuan utama studi tersebut adalah untuk menjembatani kesenjangan antara kota rencana transportasi dan investasi dalam proyek infrastruktur transportasi. Studi ini sebagai landasan informasi bagi investor untuk membuat keputusan investasi yang efektif.

“Mengingat kurangnya investasi dalam infrastruktur transportasi umum yang berlaku di Palembang, direkomendasikan diambil langkah untuk memajukan proyek-proyek ini sebagai masalah yang mendesak. Ini memerlukan identifikasi sumber pendanaan, studi kelayakan lebih lanjut, persiapan dan implementasi rencana pembukaan lahan, dan proyek pelaksanaan,” bunyi hasil studi tersebut.

Sejak diluncurkan Juli 2018 hingga awal Februari 2019, Light Rail Transit Sumatera Selatan (LRT Palembang) tercatat sudah melayani 1.088.558 penumpang. Volume penumpang LRT Sumsel di Stasiun Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II adalah yang tertinggi mencapai 264.967 penumpang.

Jumlah penumpang LRT Palembang pada saat hari kerja berada di angka 3.000-4.000 penumpang, sedangkan di akhir pekan jumlah penumpang berjumlah 6.000-8.000 orang. Angka ini terhitung jauh dari target yang ditetapkan sebesar 30.000 orang/hari.

Salah satu faktor sedikitnya penumpang LRT Palembang diduga lantaran akses pengumpan menuju halte terdekat LRT masih minim. Selain itu, trotoar yang sesuai standar juga belum seluruhnya dibangun untuk memudahkan pejalan kaki menuju halte. Pendapatan rata-rata LRT Palembang per bulannya juga hanya Rp 1,1 miliar. Padahal biaya operasional LRT setiap bulannya mencapai Rp 10 miliar.

Kalau ujung-ujungnya bicara soal untung rugi, LRT memang pantas dijadikan sasaran. Tapi benarkan kita juga harus ikut-ikutan menghitung itu. Mantan Gubernur Sumsel Alex Noerdin sudah memperhitungkan sejak awal bahwa LRT akan rugi. Tapi dia punya solusi dengan penambahan rute baru artinya menambah koridor lainnya. ‘’Minimal ada 4 rute bukan cuma rute dari Bandara ke Jakabaring,’’ katanya.  

Alex pun bersuara sama dengan Presiden Jokowi. ‘’Merubah kebiasaan menggunakan angkutan pribadi ke angkutan massal memang tidak bisa diharapkan secepatnya. Butuh waktu lama,’’ katanya. 

Alex pun berharap JSC terus menjadi tuan rumah penyelenggaraan olahraga bertaraf nasional dan internasional sehingga nama kota Palembang akan tetap dikenal sebagai Kota Olahraga dan LRT pun terus dioperasikan. 

Selain itu menuding pembangunan LRT sebagai pembangunan insfrastuktur yang sia-sia juga harus dihentikan.  Tidak semua tuan rumah ajang olahraga mengalami untung dari segi pendapatan. Ada hal lain yang mesti dilihat seperti kebanggaan kota, peningkatan ekonomi juga harus dilihat. 

Lihat data-data ini, pada Olimpiade Montreal 1976, anggaran Kanada bengkak dari US$250 juta menjadi US$1,4 miliar. Dalam catatan The Guardian, sejumlah skandal korupsi menghiasi pembangunan infrastrukturnya. Akhirnya, kebutuhan pendanaan ditutup dari utang yang jatuh tempo dalam tiga puluh tahun. Padahal, dampak helat raksasa itu tak terlalu besar pada perekonomian Kanada.

Begitu juga Jepang ketika jadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 1998 di Nagano. Angka utangnya sampai sekitar US$11 miliar sehingga satu keluarga di Jepang harus berutang US$30 ribu. Cerita serupa di Yunani. Pada Olimpiade Athena 2004, Yunani sebagai tuan rumah 

Sedang mengalami krisis keuangan. Mereka sampai harus menjual perangko dan mengutip sumbangan rakyat untuk bisa merenovasi Stadion Panatheaniakon untuk pembukaan dan penutupan olimpiade.

Mari kita bersyukur bahwa Palembang punya LRT. Tugas pihak pengelolalah yang berupaya membuat LRT semakin banyak dinaiki penumpang. Sayang Landmark Kota Palembang ini nantinya hanya menjadi bangunan tua yang dihuni hantu jika harus dihentikan pengoperasiannya. (Penulis Ocktap Riady dari berbagai sumber).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *